Jumat, 24 April 2009

Pejuang Muslimah....

Raden Ajeng Kartini (1879-1904) Pejuang Kemajuan Wanita Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya. Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah. Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali. Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang. Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria. Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari. Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya. Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928. Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan Profil Muslimah Sejati Kartini adalah sosok wanita Indonesia. Islam jauh-jauh hari telah menempatkan wanita dalam posisi yang terhormat. Wanita merupakan sosok manusia dengan seperangkat potensi yang ada dalam dirinya. Wanita dalam bahasa Nurul Husna (1999), diungkapkan bahwa seperti halnya laki-laki, wanita memiliki seperangkat potensi berupa akal, kebutuhan jasmani, dan naluri (naluri untuk mempertahankan diri, untuk melestarikan keturunan, dan untuk beragama).Lebih jauh diungkapkan, seiring dengan adanya potensi tersebut, Allah SWT menetapkan keduanya untuk menempati posisi dan peran yang beragam, yaitu sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat, maka sesungguhnya pandangan Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender, karena Islam kadangkala berbicara tentang wanita sebagai wanita (misal dalam soal haid, mengandung, melahirkan, menyusui) dan kadang pula berbicara tentang wanita sebagai manusia tanpa dibedakan dari laki-laki, misal dalam hal kewajiban shalat, zakat, haji, akhlak mulia, amar ma'ruf nahi mungkar. Dalam hal ini, ditegaskan pula bahwa kedua pandangan tersebut sama-sama bertujuan mengarahkan wanita secara individual sebagai manusia mulia, dan secara kolektif, bersama kaum lelaki, menjadi bagian tatanan (keluarga dan individu) yang harmonis. Atas dasar itulah, setiap muslimah, harus memposisikan diri dalam berperilaku dengan tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sehingga dampaknya dapat menjadi andalan panutan bagi sang anak (menjadi profil wanita muslimah). Dalam beberapa ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah, dapat kita temukan gambaran dari profil wanita muslimah ini. Salah satu di antaranya disebutkan bahwa wanita sebagai tiang ummat (QS. Al-Qashash : 7-13). Sementara itu, gambaran pribadi wanita shalihah terungkap dalam QS. At-Tahrim : 10-12. Wanita shalihah adalah sebaik-baik hiasan. Menurut Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya menyebutkan, "Tidaklah orang mu'min mendapat keberuntungan sesudah taqwa kepada Allah Azza wa Jalla, yang lebih baik dari pada wanita shalihah. Ialah wanita yang apabila disuruh ia taat, apabila dipandang ia menyenangkan, apabila diberi bagian ia menyambut baik, dan apabila suaminya tidak ada dia menjaga dirinya dan harta suaminya." (HR. Ibnu Majah). Wanita adalah calon ibu. Artinya, setiap wanita harus memposisikan sebagai muslimah sejati dalam hidupnya, sehingga kehidupan rumah tangga, berbangsa akan menjadi harmonis. Inilah cita-cita Kartini yang kelihatannya perlu diwujudkan dan diteruskan oleh kaum wanita (muslimah) saat ini agar menjadi pigur keteladanan bagi anak-anaknya. Untuk itu, semoga wanita-wanita Indonesia menjadi muslimah sejati seperti keinginan ibu Kartini. Amin. dikopas dari sini
lanjut baca qaqa ^_^ - Pejuang Muslimah....

JALUR RESMI atau JALUR SWASTA

Tadinya cuma mua ngecek akun-akun di dunia maya... eh, malah browsing tanpa tentu arah... eh singgah ke blog mas Sunu.. eh ada yg aneh di blog itu, ya lumayan lah buat jadi pelajaran :D... Seperti biasa, Ikhwan-akhwat jaman sekarang yang sedikit "NAKAL" afwan... Segala hal dalam hidup ini tentu wajib kita syukuri, termasuk apa yang sudah menjadi ketentuan Allah SWT atas apa yang kita pilih dan kita jalani saat ini. Kali ini, ada sebuah ‘guyonan’ yang barangkali menarik untuk dibahas. Guyonan dan canda khas ikhwan tentunya. Masalah yang dibahas tidak jauh dari masalah-masalah nikah dan sekitarnya. Bisa dimaklumi, karena usia produktif dan pengaruh hormonal tentu akan menyebabkan adanya perilaku demikian, bahkan kepada seorang ustadz atau masyaikh sekalipun. Ada seorang akh yang datang kepada saya dan umur akh ini jauh di atas saya. Tahun ini, semua teman seangkatannya sudah merencanakan untuk menikah dan dia merasa gelisah karena apa yang selama ini ia impikan tentang calon istri sholihah idamannya ternyata tidak kunjung ia temui. Toh, ia dengan riang tetap menjawab, ” Yo ben, aku gak manut bosku koq. Lha bos ki yha kudu dikritisi jeh…”. Ya,ya,ya …..tentu ini soal pilihan calon istri yang disodorkan kepada dia, sebagai respon dari proposal nikah yang ia masukkan. Namun ketika datang penawaran calon istri, ia mengatakan bahwa ia kurang sreg dengan yang ditawarkan. Dan ia memilih untuk “berdikari” dalam memilih akhwat yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Kali yang lain, seorang akh yang periang juga datang menemui saya dan curhat tentang masalah yang tak jauh beda (ya, meskipun saya belum pernah menikah, namun saya dianggap ‘tong sampah’ yang mampu menampung segala keluh kesah khas ikhwan ini.*ada juga yg mau jadi tempat sampah padahal belum pengalaman* Dan ‘pasien-pasien’ nya pun sudah lumayan banyak, meskipun yang saya lakukan ‘hanya’ meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan mereka dan sama sekali tidak memberi saran apapun). ‘Juragannya’ pernah menasehatinya, “Akh, antum koq nggak tsiqoh sih sama murobbi. Sudah dua kali lho, ada proposal akhwat yang Antum tolak. ” Dan dia pun dengan santai nylethuk, “Habis murobbi nggak tahu selera mutarobbi sih ! ” Saya pun langsung ngakak saat mendengar pengakuan jujur ini keluar dari mulut beliau…. Ada lagi yang ngomong kayak gini, “Udah ah, aku ganti nomer HP aja. Biar nomorku sama dengan nomor HP ukhti ‘itu’ . Kan lumayan tho, menghemat biaya pulsa. Bisa SMS gratis terus, miscall terus, kirim taushiyah terus ….. ” *PARAH!!!!!!!*(Walah, walah. Koq yha ada aja gitu akalnya …) *gileeee beud, astaghfirullah... jaga hatimu nak* Dan yang bikin ngekek lagi, “Aku kepingin menikah sama ikhwit* nih ! Ntar habis itu jilbabnya aku gede’in deh ! Kan aku dapet pahala, mengubah seorang ikhwit menjadi seorang akhwat ! ” (Haiyo, nek ra keburu dipanggil Allah duluan …). "hahahahahahaha = ekspresi saya" *Ikhwit adalah sebutan buat mereka yang berjilbab tapi jilbabnya belum sempurna dan belum sesuai dengan yang dituntunkan Alqur’an dan Sunnah. Ya, menikah memang bukan hal mudah, karena penyempurnaan setengah din ini tidak hanya ‘lunas’ saat ijab dan qobul sudah dilakukan. Setengah din ini sempurna saat kita berhasil membangun sebuah keluarga yang sakinah, karena dengan keluarga yang baik inilah suasana ketaqwaan akan lebih mudah dibangun. Dan menikah adalah jalan untuk menuju ke sana. Yang menjadi masalah adalah , pilihan-pilihan yang diambil untuk menentukan calon istri. Dari yang paling radikal (baca : nggak syar’i) sampai yang katanya paling syar’i (karena melalui cara ta’aruf yang benar) sudah sangat banyak kita temui. Pilihan-pilihan ini diambil lebih kepada kepercayaan dan keyakinannya kepada Allah SWT. Apakah ia yakin dengan jalan yang sudah Allah SWT tunjukkan ? Apakah ia yakin bahwa dengan jalan yang syar’i , jodoh kita adalah jodoh yang sudah Allah SWT tentukan ? Ini tentu perlu perenungan tersendiri, dan bukan perkara mudah. Yang jadi ‘variabel’ tambahan juga adalah, sejauh mana interaksi seseorang terhadap komunitas di mana selama ini ia bergabung, menuntut ilmu, belajar, beramal, dan mengembangkan dirinya. Inilah yang disebut dengan ‘jama’ah’, terlepas dari jama’ah syaithon, jama’ah angkringan, atau jama’ah da’wah. Ibarat kita masuk dalam sebuah kampus dan kita berkomitmen untuk kuliah di kampus itu, maka kita pun akan sukarela menanggalkan sandal jepit nyaman kita dan menggantinya dengan sepatu kita, yang pada awalnya mungkin terasa sempit untuk kita, namun pada akhirnya kita nyaman dengannya. Jama’ah apapun, suatu saat akan menuntut loyalitas dan pembuktian komitmen kita. APAPUN ! Tidak peduli jama’ah cafe, tidak peduli jama’ah dugemiyyah, jama’ah tarbiyah, atau apapun namanya. Dan ternyata, ‘pernikahan’ diambil sebagai salah satu parameter untuk mengukur komitmen kita. Tentu, masalah selera dalam memilih ikhwan atau akhwat idaman tidak boleh diabaikan. Dan terkadang, inilah yang sampai saat ini tidak dijelaskan secara gamblang dalam fase-fase pembinaan keislaman kita. Lalu, muncul sebuah anekdot, “Lha terus, ustadz-ustadz ’sepuh’ itu kan menikah juga lewat ‘lobi-lobi antar murobbi’, bahkan ada yang pilih langsung ? Mengapa kita tidak boleh ‘tunjuk langsung’ ? ” Bagi saya pribadi, ” Ya, ini lebih pada masalah kultur daerah dan permasalah masing-masing wilayah saja. Nggak semua daerah itu ‘memaksa’ anak buah binaannya untuk nikah melalui lembaga biro jodoh resmi jama’ah. Toh, kalau situ mau asik, pindah dulu aja ke daerah yang masih langka anak buah, atau malah ke daerah yang padat anak buah. Pasti malah lebih longgar aturannya ! ” (Lha iyalah, ada orang yang mau dakwah di sana aja udah syukur, apalagi mau-maunya nikah dan settle di sana). Dan tidak semua ustadz maupun syaikh membatasi muridnya dengan pagar besi yang tidak bisa dikompromikan. Kita menikah bukan karena ustadz, bukan karena syaikh, bukan karena murobbi koq ! Kita kan menikah karena Allah ? Kalau menikah karena takut akan murobbi, karena takut dikucilkan, dan sebagainya, maka masalah AQIDAH dan TAUHID kembali menjadi sorotan. Memaksa melalui biro jodoh resmi dan mengucilkan seseorang yang ‘dianggap’ mbandel karena ‘jalur swasta’ yang ia pilih, menimbulkan sebuah BID’AH baru dalam kehidupan keislaman kita. Justru produktifitas dakwah akan berkurang karena masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat diperpanjang dengan masalah lain (yang sudah pernah saya temui nih : boikot terhadap akh atau ukhti tertentu, dicuekin, dicabut keanggotaannya, ngga dianggep lagi sebagai ikhwah, dikucilkan dari komunitas da’wah, de el el yang udah pasti serem abis kalau dibayangin. Apalagi kalo kejadian beneran ! Runyam deh …). Yang jelas, harus ada parameter-parameter dasar (yang menjadi sebuah kesepakatan, atau katakanlah MoU manakala seseorang sudah bersedia berinteraksi lebih dalam dengan sebuah jama’ah. Tentu tiap periode interaksi ada parameter yang berbeda yang harus dipenuhi) yang harus dipenuhi dalam menikah, apalagi buat mereka yang sudah lama berinteraksi dengan da’wah (katanya nih) dan sudah paham betul makna ikhwan dan akhwat yang lebih dari sekedar pembeda jenis kelamin. Dan parameter ini harus disebutin sejelas-jelasnya. Kalau perlu dibikin sebagai materi pembinaan juga, biar gamblang dan jelas. Manakala parameter dasar ini sudah terpenuh, maka masalah nikah ini tidak lagi membebani satu-dua orang ustadz dan ustadzah yang sibuk mencocok-cocokkan biodata dan mengadakan syura rutin untuk mencari-cari kecocokan antara biodata ikhwan dan akhwat. Namun bukan berarti peran ‘pendampingan dan lobi’ murobbi dan ‘hak memilih’ mutarobbi dikesampingkan. Masalah nikah akan lebih banyak difokuskan untuk teknis pelaksanaan dan pengkondisian keluarga kedua belah pihak, supaya pas acara walimah nggak kecolongan dengan “pranata adicara” yang berbau syirik dan bid’ah. Jangan sampai ada kasus-kasus lucu (yang sebenarnya wagu dan nggak lucu) antara seorang ikhwan dan akhwat (katakanlah, senior, karena sudah dipanggil akhi atau ukhti lebih dari 5 tahun, dan udah mulai nyambi-nyambi jadi murobbi) yang masih asik SMS-SMS-an, sok ngasih taushiyah (jadi puitis mendadak, padahal muk kulakan seko majalah ataw buku), bangunin tahajud satu sama lain (padahal habis mbangunin terus tidur lagi), atau bentuk-bentuk ‘pensiasatan’ lain yang timbul karena permasalah kontrak dan MoU kriteria-kriteria pernikahan (menurut Islam, dan yang sesuai dengan kultur jama’ah) yang kurang jelas. Kita tak berhak menyalahkan mereka 100%, karena selama ini pun kita masih plin-plan dengan prosedur dan MoU yang dimaui dan sesuai dengan kultur jama’ah. Jangan sampai ada buku pernikahan yang terbit dengan judul, “Kupinang Engkau Dengan Terpaksa! “ Hmmm... kalo menurut analisaku... Biasanya kisah-kisah diatras terjadi bukan karena ada niat dari pelaku, tapi juga karena ada kesempatan... Nah, ada baiknya kita kudu jaga diri masing-masing deh.. Disini saya coba ngasi Tips biar bisa bergaul yang syr'i tapi gak kaku... 1. Menutup Aurat "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita mukminah, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,....." (QS. Al-Ahzab [33] : 59). Telah berkata Aisyah RA, "Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar menemui Nabi SAW dengan dengan memakai busana yang tipis, maka Nabi berpaling darinya dan bersabda, "Hai Asma, sesungguhnya apabila wanita itu telah baligh (sudah haidh) tidak boleh dilihat daripadanya kecuali ini dan ini," sambil mengisyaratkan pada muka dan telapak tangannya." (HR. Abu Daud). Termasuk bagian dari penyempurnaan menutup aurat adalah menggunakan pakaian yang longgar (tidak ketat), tidak menggunakan kain yang transparan atau tipis, model dan warna pakaian pun sebaiknya tak terlalu menarik perhatian laki-laki, juga tak berlebihan dalam menggunakan wewangian. Saya rasa ini sudah jelas... 2. Menundukkan Pandangan "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nuur [24] : 30). "Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya..." (QS. An-Nuur [24] : 31). Hey, bukan berarti kalo lagi jalan nunduk terus lho... Bukan juga, kalo lagi ngomong harus nunduk (dak sopan), apalagi orang yg tipe belajarnya visual kayak saya (syusesh)... 3. Tegas dalam Berbicara "Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik..." (QS. Al-Ahzab [33] : 32). WARNING!!!! BEDAKAN BERBICARA TEGAS & BERBICARA KERAS... 4. Menjaga Jarak; Tidak Bersentuhan Telah berkata Aisyah RA, "Demi Allah, sekali-kali dia (Rasul) tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) melainkan dia hanya membai'atnya (mengambil janji) dengan perkataaan." (HR. Bukhari dan Ibnu Majah). BAGAIMANA DENGAN DI ANGKOT?? nah itu pengecualian, tapi kalo masih bisa dihindari.. dihindari deh... Yang jelas, AKHWAT JANGAN NAIK OJEK atau berboncengan dengan laki2 yang bukan muhrimnya... (Kecuali tukang ojeknya, muhrim) 5. Tidak Berikhtilath (Berdua-duaan) "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan." (HR. Ahmad). MEDIA IKHTILATH BANYAK LHO... *chatting PM (private message, telpon2an, sms-an gak penting, di ruangan kalo yang lain pada keluar dan hanya kita berdua dengan teman laki2, apalagi jalan bareng ke Mall berdua.. PARAH!!!!) *tapi, lagi2 pengecualian itu ada.. Yuk konsultasi ke Master Syariah... :D hehehe Wallahu'alam bishawwab... mohon maaf kalo ada kata-kata yang salah...
lanjut baca qaqa ^_^ - JALUR RESMI atau JALUR SWASTA